Wrhaspatitatwa terdiri atas 74
pasal menggunakan bahasa sanskerta dan bahasa jawa kuna. Bahasa sanskerta
disusun dalam bentuk sloka , sedangkan bahasa jawa kunanya disusun dalam bentuk
bebas ( gancaran ) yang dimaksudkan sebagai terjemahan bahasa sanskertanya.
Wrhaspatitatwa berisi dialog
antara seorang guru spiritual ( Sang Hyang Iswara ) dengan seorang murid
bernama Bhagawan Wrhaspati. Sang Hyang Iswara berstana di puncak Gunung
Kailasa, sebuah puncak gunung di Himalaya yang dianggap suci. Bhagawan
Wrhaspati adalah seorang suci yang merupakan guru dunia yang berkedudukan di
sorga.
Garis besar ajaran dalam dialog
itu adalah ;
Kenyataan tertinggi itu ada dua
yang disebut Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran, acetana adalah
unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala
yang ada. Cetana itu ada 3 jenis ; Paramasiwa tatwa, Sadasiwa tatwa, dan
siwatma tatwa yang disebut sebagai cetana telu, tiga tingkatan kesadaran.
Ketiganya tidak lain adalah Sang Hyang Widhi
sendiri yang telah berbeda tingkat
kesadarannya. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, sadasiwa
menengah dan siwatma terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran tergantung
pada kuat tidaknya pengaruh maya. Paramasiwa bebas dari pengaruh maya, sadasiwa
mendapat pengaruh sedang dan siwatma mendapat pengaruh paling kuat.
SangHyang Widhi Paramasiwa adalah kesadaran
tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu maya, karena Ia disebut
“Nirguna Brahman”, Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi tanpa
aktivitas.
Paramasiwa kemudian kesadarannya
mulai tersentuh oleh maya, pada saat seperti itu Ia mulai terpengaruh oleh
sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi
Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhisegala kehendaknya yang
disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan stanaNya. Ia digambarkan
sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara AUM ( OM ) dengan
Iswara ( I ) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA ), Aghora ( A) sebagai
hati, Bamadewa ( BA ) sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata ( SA ) sebagai
badan. Dewa sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaannya.
Karena itu Ia disebut “Saguna Brahman
‘.
Pada tingkatan Siwatma Tatwa,
sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh maya.
Karena itu Siwatma Tatwa disebut juga Mayasira Tatwa. Berdasarkan tingkat
pengaruh maya terhadap Siwatma Tatwa, maka dibedakan atas delapan tingkatan
disebut astawidyasana. Bilamana pengaruh maya sudah demikian besarnya terhadap
Siwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi awidya.
Apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjadi semua makhluk hidup termasuk
didalamnya manusia maka disebut Atma atau Jiwatma.
Meskipun Atma merupakan bagian
dari Sanghyang Widhi, namun karena adanya belenggu awidya yang ditimbulkan oleh
maya, maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Atma ada dalam
lingkungan sorga neraka samsara secara berulang-ulang. Atma akan dapat bersatu
kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran catur Iswarya,
Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan astasiddhi. Bilamana dalam segala
karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tadi maka atma akan tetap berada
dalam lingkaran samsara, reinkarnasi.
Bentuk atau wujud reinkarnasi
atma sangat banyak tergantung karma wasananya atma pada saat penjelmaanya
terdahulu. Salah satu bentuk reinkarnasi itu adalah sebagai sthawara janggama
yang disebutkan sebagai penjelmaan paling jelek. Bentuk reinkarnasi itu adalah suatu
penderitaan luar biasa yang harus dihindari.
Untuk mengakhiri lingkaran
samsara ini, whraspati tatwa mengajarkan setiap orang untuk menyadari hakekat
Ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara :
1.
Mempelajari segala Tatwa
2.
Tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu
indria
3.
Tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan
baik-buruk
Sumber : buku SIWATATWA , oleh pemerintah propinsi Bali, proyek peningkatan sarana prasarana kehidupan beragama tahun 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar