Pura ini terletak di Puncak Bukit Bibis atau Gunung
Lempuyang, tepatnya di desa Purahayu Kec Abang, Karangasem. Pura ini diduga
termasuk paling tua keberadaannya di Bali. Bahkan sudah ada pada zaman pra –
Hindu-Budha. Semula bangunan sucinya terbuat dari batu. Dewa yang diistanakan
disini, yakni Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Ada sebuah informasi yang kiranya cukup menarik. Berdasarkan
pemotretan dari angkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat
terang. Sinar itu paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak
diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung
Lempuyang.
Lempuyang berasal dari kata ‘lampu’ yang artinya sinar dan
‘hyang’ untuk menyebut Tuhan. Dari kata itu lempuyang diartikan sinar suci
Tuhan yang terang benderang. Ada juga versi
lain yang menyebutkan lempuyang adalah sejenis tanaman yang dipakai
bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan dengan nama banjar di sekitar Lempuyang
yaitu Bajar Bangle dan Gamongan. Bangle dan Gamongan merupakan tanaman sejenis
yang bias dipakai obat dan bumbu. Versi lain ada juga yang menyebut lempuyang
berasal dari kata ‘empu’ atau ‘emong’ yang diartikan menjaga. Bhatara Hyang
Pasupati mengutus tiga putranya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan
Bali dari berbagai guncangan bencana alam.
Pura Lempuyang memiliki status penting, sama seperti Pura
Besakih. Baik dalam konsep padma bhuwana, catur loka pala ataupun dewata nawa
sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga Pura besar
yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Pura lempuyang.
Sekitar tahun 1950 ditempat didirikannya Pura Lempuyang
Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon
hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah
tidak ada lagi. Diduga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada
generasi baru menggantikannya. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma
kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.
Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku
di pura itu mengatakan, orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura
ini. Sebab,jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya
berstana di pura ini, selama hidup bias
tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau
dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Bhatara Hyang Gni
Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis
dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut ;
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan
bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya,
moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar
ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan hindu, sangat baik jika dimulai dengan
memohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Jero Mangku juga menyampaikan, di Pura
lempuyang Luhur terdapat tirtha pingit di pohon bamboo yang tumbuh di areal
pura. Saat umat nunas tirtha, pemangku pura usai ngaturang panguning akan
memotong sebuah bamboo. Air suci dari bamboo itu di pundut untuk muput berbagai
upacara, kecuali manusa yadnya. Siapapun tak boleh berbuat buruk seperti campah
di pura, jika tak ingin kena mara bahaya.
Langgar Pantangan bisa Sengkala
Ada sejumlah pantangan yang jika dilanggar bias berakibat
buruk. Saat naik ke lempuyang Luhur, sejak awal, pikiran, perkataan, dan
perbuatan harus disucikan. Tidak boleh berkata kasar saat perjalanan. Selain
itu orang cuntaka, wanita haid, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu
sebaiknya jangan dulu masuk pura atau sembahyang ke pura. Konon pernah ada rombongan orang
sembahyang dari Negara. Rupanya, sebelum ke lempuyang, mereka melayat orang
meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh dan terperosok karena
tidak bias naik ditanjakan. Selain sejumlah larangan itu, umat yang hendak
nangkil dilarang memakai perhiasan emas, karena perhiasan itu bias hilang
misterius. Membawa atau makan daging babi saat ke lempuyang juga sebaiknya dihindari,
karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang Luhur
hampir sama dengan nangkil ke Puru Luhur Batukaru.
Potongan Gunung Mahameru
Menurut sumber, Lempuyang Luhur dan pura sad kahyangan
lainnya didirikan pada abad ke-11 masehi, saat mpu Kuturan mendampingi Raja
Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. Dalam lontar Kutara Kanda Dewa
Purana Bangsul dinyatakan; Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang
ada di Bali dari Jambhudwipa ( India ), dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung
Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga
bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Rinjani,
sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi
deretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung
tersebut adalah Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru,
Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa,
Andhakasa, Uluwatu, Sraya, dan gunung lempuyang. Gunung-gunung itu sebagai
stana para Dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali.
Dalam lontar itu juga disebutkan bahwa Sang Parameswara
menugaskanputranya Sang Hyang Agnijayasakti turunke Bali dan menjaga
kesejahteraan Bali dan beliau ber-stana di Gunung Lempuyang bersama dengan
dewa-dewa lainnya.
Dalam prasasti Sading C tahun 1072 Saka, dinyatakan bahwa
Gunung Lempuyang juga bernama Gunung Adri Karang. Digunung Adri Karang inilah
Raja Jayasakti bersemadi, karena itulah gunung itu juga bernama Karangsemadi.
Raja Jayasakti diperintahkan oleh ayah beliau Sang Hyang Guru untuk turun ke
Bali membangun pura agar menjadi daerah yang aman dan sejahtera. Raja Jayasakti
mengajak para pandita dan pembantunya serta rakyat untuk mewujudkan perintah
Sang Hyang Guru membangun Bali diawali pembangunan pura di Gunung Lempuyang
sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Hyang Iswara. Sebelumnya Raja Jayasakti
melakukan semadi sebagai langkah awal membangun kehidupan aman dan sejahtera di
Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar